Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Februari, 2017

Mengapa (Jurnalisme) Kritis?

Dulu, kakek saya pernah bertanya, “apa bedanya ilmu dengan harta?” Saya tak menjawab, bingung. Firasat saya mengatakan, kakek pasti punya jawaban yang tidak biasa. Dan benar dugaan saya, katanya “kalau harta, yang harus melindungi itu kamu. Tapi ilmu, ilmulah yang akan melindungimu”.

Bukan Puisi

“Maka dari itu, sekolah yang pintar, biar tidak menjadi petani seperti kakekmu ini. Jadi petani itu capek.” Kakek pernah berpesan, dulu sekali. Lantas aku menjawabnya dengan nada sok bijak, “yang penting itu bukan pinter kek, tapi sehat. Kalau aku pintar, aku akan malas menggerakkan tubuh ini, bisa-bisa aku lumpuh, loyo. Dari pada pintar, mending aku jadi petani saja seperti kakek, sehal wal afiat”. Percakapan itu terjadi di tengah sawah yang sore, angin berhembus santai, matahari tak bersinar sombong. Aku lupa bagaimana ekspresi kakek waktu itu.

Buta

Di hari-hari yang polanya tak jauh berbeda dengan hari-hari sebelumnya, sepertinya orang-orang belum mau untuk mengakui kebutaannya. Mungkin mereka nyaman. Atau berpura-pura nyaman. Setidaknya hal itulah yang –sedikit– saya rasakan, setelah keluar dari rutinitas, berjalan agak jauh ke Masjid, menggerak-gerakkan anggota tubuh selama beberapa menit, lalu kembali ke rutinitas atau menggantinya.

Lihat

“Hiduplah dengan baik dan jadilah orang yang baik” ucap isshin kepada anaknya. Begitulah kalimat yang diucapkan oleh salah satu karakter anime “Bleach”. Entah siapa nama mangakanya, anime itu saya tonton ketika menganggur di hari libur. Saya juga pernah baca sedikit bukunya Nietzsche. Lalu saya tak menemukan arti mengapa saya menulis tulisan ini.