Jika
kita membutuhkan informasi, kita akan membutuhkan infornasi yang benar.
Bagaimana cara untuk mengetahui kebenaran? Tentu dengan membaca, melihat dan
mendengar kebenaran itu. Kita bisa melakukan kegiatan untuk mencari,
mengumpulkan, menyimpan dan menyampaikan kebenaran dengan jurnalisme.
Tapi
masalah tak selesai di situ, ada pertanyaan seperti, apakah yang kita baca,
lihat, dengar, dan kita sampaikan adalah kebenaran yang sebenarnya? Bagaimana
jika yang kita anggap sebagai kebenaran itu bukanlah kebenaran yang sebenarnya?
Maka dari itu, yang harus dilakukan setelah kita mendapatkan kebenaran adalah
terus mempertanyakan dan menguji kebenaran itu. Mungkin kita bisa memakai istilah
yang lebih kekinian seperti “mengupdate” kebenaran.
Tentu
di dalam perkembangannya, jurnalisme menyediakan metode untuk menguji
kebenaran, dengan cara yang disebut sebagai “verifikasi”. Wartawan Amerika,
Bill dan Tom dalam buku 9 elemen jurnalisme memberi poin-poin prinsip untuk
mendapatkan kebenaran. 1) Jangan menambahkan sesuatu yang tidak ada. 2) jangan
mengecoh pembaca. 3) bersikap transparan tentang motif dan metode kita. 4)
lebih mengandalkan liputan orisinal yang dilakukan sendiri. 5) bersikap rendah
hati, tidak menganggap diri paling tahu. Kira-kira seperti itu.
Apa
sudah cukup? Bisa sudah dan bisa belum, kembali ke kebutuhan kita. Apakah
kebutuhan kita berkaitan dengan pendidikan, kesehatan, ekonomi, agama, politik?
Atau ke hal yang sederhana seperti kebutuhan pangan, sandang, dan papan? Atau
ke hal yang lebih mendasar seperti dari mana sumber kebenaran itu? Pertanyaan
ini setidaknya bisa dibantu dengan filsafat. Dengan filsafat kita akan belajar memikirkan
segala sesuatu secara mendalam dan ingin melihat dari segi yang luas dan
menyeluruh dengan segala hubungan.
Tapi, bagaimana caranya memadukan jurnalisme dan filsafat jika keduanya memiliki fous bahasan yang berbeda? Muhammad Al Fayyadl, seorang ulama, dalam esainya yang berjudul “Jurnalisme dan Filsafat” menjelaskan bahwa filsafat dan jurnalisme sesungguhnya selalu terlibat dalam hubungan yang ambigu dan terkadang antagonistik: filsafat tak pernah mengakui secara eksplisit signifikansi jurnalisme bagi dirinya. Di satu sisi, dalam salah satu fase sejarahnya, filsafat pernah menggunakan jurnalisme sebagai mediumnya. Di sisi lain, filsafat tidak menganggap serius jurnalisme, atau menilainya cukup adekuat untuk menjadi medium bagi pemikiran filosofis.
Dalam
esainya, Fayyadl menjawab masalah itu dengan mengungkapkan bahwa jurnalisme
yang baik selalu menunjukkan keterkaitan antara risiko dan kebenaran.
Keterkaitan ini—yang lebih dari sekadar hubungan “struktural”, tetapi juga
mengandung di dalamnya hubungan-hubungan ontologis yang lebih mendalam—juga tampak
dalam filsafat. Sejarah filsafat adalah sejarah keterkaitan antara risiko dan
kebenaran. Kita akan berangkat dari problem ini untuk melihat bagaimana
filsafat dan jurnalisme saling terkait dan belajar satu sama lain.
Jika
filsafat mesti berangkat dari persoalan, maka persoalannya bukan “apakah
jurnalisme dapat menjadi filosofis?” (dan karenanya melahirkan sejenis genre
“jurnalisme filosofis”, sebagai suplemen bagi “jurnalisme sastrawi” yang lebih
dulu ada), bukan juga “bagaimana menjadikan jurnalis sebagai filsuf?”, atau
“bagaimana sebaiknya seorang jurnalis berfilsafat”, namun “bagaimana menjadikan
filsafat sebagai inspirasi dalam kerja jurnalisme?”, dan dengan demikian,
meletakkan filsafat tidak secara konkret dan instrumental-praktis dalam kerja
jurnalisme, tapi menjadikannya suatu hal yang implisit, namun berpengaruh
secara aktual dalam jurnalisme itu sendiri, tulis Fayyadl.
Namun
filsafat bukanlah ilmu yang tunggal. Ia bermula dari puluhan (dan mungkin
ratusan) tahun yang lalu. Singkatnya ada banyak periode dan aliran filsafat.
seperti filsafat alam, filsafat yunani (Socrates, plato, aristoteles), modern
(rasionalisme, empirisme, idealism, positivism, marxisme, mahzab kritis), dan
post-modern (nietzsche, derrida, foucault, alltuser). Dengan banyaknya filsafat
yang kita pelajari bukannya nanti bakal lebih rumit. Apalagi filsafat satu
dengan filsafat lainnya itu sangat mungkin bertentangan. Iya memang. Tapi,
kalau bertentangan memang kenapa? Bukankan hidup ini isinya memang
pertentangan. Hidup tak Cuma berisi salah dan benar, tapi hidup itu isinya
banyak dan campur aduk. Menolak satu fakta atau kebenaran lain, berarti menolak
hidup itu sendiri. Bukan begitu?
Seorang
jurnalis, Andreas Harsono dalam buku “A9ama Saya adalah Jurnalisme”
menjelaskan, untuk mendapatkan informasi yang berkualitas, kita harus
mengetahui dan memahami dari beragam sudut pandang yang berbeda. Perbedaan
seharusnya tidak menjadi persoalan, sehingga yang satu harus disingkirkan. Tapi
perbedaan haruslah diterima, supaya kita bisa tahu dan memahami dunia serta
menguji kebenaran yang kita percayai.
Pada
akhirnya, tidak ada yang namanya akhir. Jika kita ingin mendapatkan kebenaran
dan memahami dunia, kita harus berada dalam proses pencarian dan pengujian
terus-menerus terhadap kebenaran dan apapun yang kita yakini. Kita harus selalu
jujur, ingin tahu, dan berani. Dan sesungguhnya, hal yang lebih penting dari
mengetahui kebenaran adalah menggunakan kebenaran itu. Jika kita menemukan
masalah dalam hidup, apakah cukup bagi kita untuk mengetahuinya saja? Tidak,
kita harus berusaha menyelesaikannya.
Komentar
Posting Komentar